Orang Jepang biasanya jarang tersenyum, kaku dan terlihat sering salah tingkah. Mengetahui ada apa dibalik kebiasaan yang sering dilakukan mungkin dapat sedikit menyibak kemisteriusannya. Kimono, sumo, sumpit dan sake adalah empat hal yang selalu berkaitan dengan Jepang. Ketiga hal itu juga banyak mempengaruhi cara hidup mereka.

Kimono
Kimono misalnya, baju tradisional ini ternyata bukan sekedar penutup tubuh. Banyak falsafah hidup yang terkandung di dalamnya. Mengenakan kimono tidak boleh sembarang. Ada aturan baku yang harus diikuti. Tidak hanya itu, banyak hal unik yang dilakukan masyarakat berkaitan dengan hal-hal tersebut.
Sumpit
Sumpit tidak bisa dipisahkan dalam tata cara makan. Sebagian besar orang Jepang akan mematahkan sumpitnya menjadi dua bagian selesai makan. Menurut adat, apabila sumpit tidak dipatahkan, mereka akan terserang suatu penyakit akibat makanan tersebut.

Namun, saat ini tradisi tersebut hanya dilakukan saat bersantap di restoran. Untuk bersantap di rumah, setiap anggota keluarga menyimpan sendiri sumpit masing-masing. Bertukar sumpit, tabu dilakukan karena dapat dianggap membawa sial.

Budaya yang dipengaruhi agama Budha juga mempengaruhi pentingnya benda ini. Masyarakat Jepang selalu menyediakan semacam sesaji untuk arwah kerabatnya yang berbentuk semangkuk nasi dengan sepasang sumpit yang tertancap tegak lurus ditengah nasi. Sepintas benda ini akan berbentuk seperti kuburan dengan sumpit sebagai nisannya.

Sumo
Kita mungkin bertanya mengapa pemain Sumo selalu berbadan gendut dan besar. Memang, syarat utama pemain Sumo adalah laki-aki dengan struktur tulang besar, dan mampu dan mau menambah berat badannya.

Tidak semua pemain sumo berbadan besar sejak kecil. Malah, banyak yang menjadi besar dan gendut setelah masuk pelatihan khusus. Ketika seseorang sudah diterima sebagai pemain sumo, ia harus mampu menjaga "kebesaran" badannnya.

Banyak anak muda yang bercita-cita sebagai pemain sumo. Hal ini dapat dimengerti karena seorang juara sumo mendapat tempat istimewa dalam masyarakat. Setiap pemain dianggap dewa di daerah asalnya.

Dua orang petarung dianggap mewakili Dewa Gunung (Yamasachichiko) dan Dewa Lautan (Umisachichiko). Sebagai juara dia berhak memperoleh fasilitas mobil lengkap dengan bahan bakarnya selama setahun penuh (bensin sangat mahal di Jepang).

Ia juga berhak memperoleh seribu jamur shiitake dan seekor sapi setiap kali makan. Selain itu, ia juga berhak mengkonsumsi minuman cola sesuka hatinya.

Sake
Minuman tradisional ini harus diminum dalam cangkir yang kecil. Hal ini berkaitan dengan tradisi Jepang Kuno. Nenek moyang mereka selalu makan dengan tempat yang terbuat dari kulit kerang besar. Sedangkan kulit kerang kecil digunakan sebagai cawan air.

Maka, saat ini minuman harus selalu ditempatkan di wadah kecil. Sedangkan makanan dalam wadah yang lebih besar. Setiap orang yang hendak minum, harus menuangkannya untuk temannya terlebih dulu. Pada acara minum, pantang menuangkannya untuk diri sendiri.

Mabuk setelah minum sake adalah hal yang biasa. Apalagi minuman dengan kadar alkohol tinggi ini (sekitar 20%) harus selalu hadir dalam setiap acara. Sejak remaja mereka sudah boleh minum sake. Namun, tentu saja hanya satu atau dua cangkir.

Sake selalu disajikan dalam tiga kategori. Dari yang biasa sampai spesial. Jenis sake yang paling biasa disebut nikyu. Kualitas yang diatasnya disebut ikkyu. Sedangkan yang spesial disebut tokkyu.

Untuk acara seperti pernikahan, perayaan karena promosi jabatan atau hanya sekedar makan malam romantis tentu saja harus sake spesial. Tingginya kadar alkohol di dalam sake membuat kesan orang Jepang suka sekali mabuk. Selain sake, mereka juga suka sekali minum whiski dan bir.

Selain ketiga hal diatas, banyak tradisi lain yang menarik. Saling bertukar kartu nama seperti yang sering kita lakukan saat bertemu kenalan baru, dipercaya berasal dari Jepang.

Oleh karena itu, kartu nama adalah hal yang penting seperti halnya telepon genggam. Sebagian besar perusahaan Jepang mencetak kartu nama karyawannya dengan kertas dan bentuk yang menarik. Semakin bagus kartu namanya, semakin bergengsi perusahaannya.
 
Gagasan akan tema ini muncul setelah melihat adanya beberapa peristiwa yang berhubungan dengan perilaku bangsa Jepang, khususnya yang berhubungan dengan wanita. Peristiwa atau fenomena dimaksud adalah jugun ianfu yang menghebohkan dunia dan menjadi trade mark bangsa Jepang, budaya geisha yang juga khas Jepang dan “budaya” pelecehan seksual terhadap wanita. Sedangkan di sisi lain, bangsa Jepang sering dianggap sebagai bangsa yang religius. Hal ini dapat dilihat dari adanya keyakinan bangsa Jepang bahwa bekerja merupakan satu bentuk manifestasi peribadatan.

Di samping itu penampilan cultural bangsa Jepang dengan banyaknya festifal keagamaan memberi gambaran sesungguhnya ungkapan-ungkapan religiusitas bangsa Jepang sangat kental. Bangsa Jepang sangat menyukai acara-acara ziarah dan perayaanhari raya (Benedict, 1982:97) Singer berpendapat bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang matang dari segi budaya (Singer,1990:94). Hal ini dapat dilihat pada kematangannya mengemas budaya sendiri dan budaya luar menjadi budaya yang khas Jepang. Orang Jepang menunjukkan perilaku sinkretik dengan mengkombinasikan beberapa ritual keagamaan dalam hidup untuk tujuan-tujuan tertentu (Earhart, 1984:22). Agama atau secara lebih umum religi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perkembangan Bangsa Jepang dan tentunya mempengaruhi perilaku masyarakat secara keseluruhan. Menurut FukuzawaYukichi (1985:220) agama dan religi merupakan sumber nilai bagi kehidupanmasyarakat Jepang.

Bila dikatakan bahwa agama lazimnya akan melahirkan budaya agamis pada suatu masyarakat (Brede Krentensen dalam Musa Asy’ari dkk, 1993:56) maka mungkin tesis ini pun harus diterjemahkan. Di Jepang dikenal banyak upacara dan festival keagamaan. Boleh jadi ini salah satu bagian dari kategori agamis. Dalam arti yang lebih rohaniah mungkin agama akan memberi arti dalam menuntun masyarakat untuk hidup yang lebih beradab, meskipun istilah beradab tidak selalu memberi pengertian standar. Kadang suatu hal yang dianggap beradab dalam suatu budaya dihargai berbeda dalam budaya lain. Ekstrimnya lagi, suatu hal yang dilarang dalam budaya tertentu mungkin tidak dilarang dalam budaya lain. Yang dilarang di dalam kepercayaan atau religi yang satu tidak atau bahkan dianjurkan dalam religi yang lain. Kegiatan ritual yang bernilai dalam religi tertentu mungkin ditafsirkan sebagai kejahatan dalam tradisi religi yang lain.

Dalam masyarakat Jepang yang dianggap budayanya telah matang sebagaimana di atas, dengan jalin-menjalinnya agama-agama di Jepang dengan budaya masyarakat (Inazo Nitobe, 1900:7-10) maka ironis bila ternyata bangsa Jepang menunjukkan perilaku yang menunjukkan moralitas rendah terutama dalam perlakuannya pada wanita. Oleh karena itu, maka dimungkinkan ada satu penyebab sehingga muncul dua hal yang bertentangan tersebut. Yad Mulyadi(1997:58) menengarai bahwa aspek dominan yang menentukan pola tindakan manusia terhadap lingkungan salah satunya adalah religi. Oleh karenanya maka sangat mungkin ada unsur-unsur dalam religi yang tumbuh di Jepang mewarnai fenomena masyarakat yang kemudian muncul. Masalahnya kemudian, mengapa yang muncul justru hal negatif yang lazimnya tidak mencirikan moralitas masyarakat religius itu sendiri.

Atas dasar dua sisi factual dan teoritis di atas maka tampak bahwa terdapat semacam logika yang kontradiktif. Lazimnya, masyarakat yang cenderung dipahami sebagai bersifat religius akan menampilkan karakter masyarakat yang cenderung memenuhi standar moralitas religius yang menempel padanya. Sistem keyakinan pada dasarnya akan menjadi sistem nilai kebudayaan, menjadi pendorong, penggerak dan pengontrol terhadap anggota individu dan masyarakat agar berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya (Robertson, 1998:vi-viii). Pada bangsa Jepang (istilah bangsa menunjukkan Jepang sebagai kelompok manusia dengan karakter tertentu), tesis tersebut terkesan bertolak belakang. Atas dasar logika berpikir ini, maka dalam artikel ini akan dibahas kemungkinan teoritis yang mendasari hal tersebut.

Geisha merupakan bagian dari sejarah dan kebudayaan Jepang. Geisha sebagai bagian dari sejarah dan kebudayaan Jepang cukup fenomenal. Di satu sisi menggambarkan betapa anggun dan berbudayanya wanita Jepang tetapi disi lain memunculkan gambaran negatif wanita Jepang itu sendiri. Geisha pernah diteliti antaralain oleh Ida Anggraeni Ananda (1994). Kajian ini menyimpulkan bahwa sesungguhnya geisha sebagai agen seni tidak sama dengan wanita penghibur yang lain. Seorang geisha asli adalah wanita Jepang yang berbakat dan berkemampuan lebih dalam bidang seni, moral dan intelektual dengan aktivitas yang terpola dan terkonsep. Pandangan bahwa geisha adalah wanita penghibur adalah salah karena geisha menghibur melalui seni dan penampilan keduanya berbeda.

Geisha di masa lampau di samping berfungsi menghibur para pria dengan menampilkan banyak seni dan juga menjadi teman bercakap-cakap. Hal ini terjadi karena para istri masa lampau tidaklah dianggap sebagai makhluk sejajar yang dapat menjadi teman bicara bagi suaminya. Ketika konsep kesetaraan mulai memasuki pemikiran orang Jepang, geisha menjadi langka dan hanya ditampilkan pada saat-saat tertentu. Sebagai kesimpulan, kajian ini memandang positif potret seorang geisha. Meskipun demikian, yang ideal dan bernilai pada diri geisha dapat saja bergeser pada tataran permukaan saja sehingga yang berkembang di masyarakat, geisha adalah juga wanita penghibur seksual. Mungkin benar bila dikatakan tidak ada yang menjamin apakah seorang geisha yang hidup dalam dunia hiburan dengan jaman yang semakin berubah akan tetap kukuh dalam kegeishaannya yang asli.

Buku Memoar Seorang Geisha dari Golden (2002) menggambarkan bahwa geisha tidak hanya seperti yang ideal di atas. Seorang geisha harus mengorbankan harga dirinya dalam hidup sebagai penghibur. Satu kemungkinan, geisha pada jamannya memang figur ideal dan dibutuhkan masyarakat karena konsepnya yang masih murni (ideal). Akan tetapi setelah berkembang di masyarakat akan muncul semacam tingkatan dalam konteks nilai wanita tersebut sebagai penghibur. Oleh karena itu, dimungkinkan ada geisha mulai dari yang berkualifikasi dalam konsep asli, murni geisha sebagaimana ideal di jamannya, sampai yang berkualifikasi sejenis wanita penghibur. Meskipun demikian dapat disimpulkan profesi mereka sama-sama berada dalam peran sebagai penghibur para pria.

Oleh karenanya, tidak aneh sinyalemen Kartini-Kartono yang mengatakan bahwa ada kecenderungan umum kaum wanita banyak dijadikan budak nafsu biologis para pria, baik dalam fungsi prokreatif (melahirkan anak) maupun dalam fungsi “hiburan” (Kartini-Kartono, 1986:2). Jugun ianfu, merupakan salah satu tema yang menarik perhatian di antara sekian banyak tema yang mengganggu rasa keadilan dan perghargaan harkat kemanusiaan khususnya wanita. Fenomena ini telah meninggalkan trauma sosial yang dalam dan melukai kelompok bangsa lain (Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi, 1998). Jugun ianfu adalah sebutan untuk perempuan-perempuan Asia, khususnya, yang direkrut oleh pemerintah Jepang pada masa pendudukan tentara Jepang sekitar Perang Dunia II dan dijadikan budak nafsu seksual bala tentara Jepang (confort women). Perempuan-perempuan ini direkrut pada usia yang sangat muda dengan dijanjikan untuk meneruskan belajar di negeri Jepang atau dengan alasan untuk menjadi penyanyi atau penari.

Secara sederhana, perempuan-perempuan belia ini terbuai oleh iming-iming pemerintah Jepang atau dalam kasus tertentu dipaksa oleh orang tua mereka yang pada waktu itu harus tunduk pada pemerintah pendudukan tentara Jepang. Tentara pendudukan yang memaksa daerah pendudukan untuk mengikuti aturan yang dibuat penjajah itu sudah biasa dilakukan. Penduduk pribumi yang takut terhadap penjajah itu juga biasa. Penjajah memang pada dasarnya ingin mengeruk segala keuntungan, biasanya hasil bumi, dari negara yang dijajah. Oleh karenanya maka tindakan-tindakan pemaksaan sering dilakukan untuk mencapai tujuannya. Lebih dari itu, arogansi dan superioritas bangsa penjajah tidak hanya berimbas pada pemaksaan untuk tujuan material.

Karena bangsa penjajah -kebanyakan tentara – tidak banyak membawa para wanita istri-istri mereka sedangkan kegiatan seksual merupakan salah satu kebutuhan manusia, maka sangat mungkin di daerah pendudukan ditemukan tentara yang memanfaatkan wanita pribumi untuk dijadikan istri, memanfatkan rumah pelacuran, atau bahkan melakukan pemaksaan terhadap wanita untuk pelampiasan nafsu. Kondisi daerah konflik dikatakan rentan terhadap tindak kekerasan seksual, perkosaan dan sejenisnya (Wiwik Setyawati dalam Achie Sudiarti Luluhima, 2000:169).

Ditemukan adanya banyak kasus tentara pendudukan melakukan perkosaan terhadap wanita pribumi. Korban perkosaan oleh tentara atau sipil pada wanita pada masa perang terjadi sepanjang sejarah. Bahkan hampir keseluruhan keberadaan tentara di daerah konflik diwarnai noda perkosaan . Begitu pula yang terjadi pada pemerintah pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Hanya saja yang terjadi, tentara Jepang bahkan mengoperasikan dan mengatur keseluruhan kebutuhan akan hal tersebut.

 
Hanami  ( hana wo miru  = melihat bunga) atau ohanami  adalah tradisi Jepang dalammenikmati keindahan bunga, khususnya bungasakura. Mekarnya bunga sakura merupakanlambang kebahagiaan telah tibanya musimsemi. Selain itu, hanami juga berarti piknikdengan menggelar tikar untuk pesta makan-makan di bawah pohon sakura.Rombongan demi rombongan berpiknik menggelar tikar dan duduk-duduk di bawahpepohonan sakura untuk bergembira bersama, minum sake, makan makanan khas Jepang,dan lain-lain layaknya pesta kebun. Semuanya bergembira. Ada kelompok keluarga, adakelompok perusahaan, organisasi, sekolah dan lain-lain.


Menurut kisah sejarah, kebiasaan hanami dipengaruhi oleh raja-raja Cina yanggemar menanam  pohon plum di sekitar istana mereka. Di Jepang para bangsawanpunkemudian mulai menikmati bunga Ume (plum) . Namun pada abad ke-8 atau awal  periodeHeian , obyek bunga yang dinikmati bergeser ke bunga sakura. Dikisahkan pula bahwa RajaSaga di era Jepang dahulu gemar menyelenggarakan pesta hanami di taman Shinsenen diKyoto. Para bangsawanpun menikmati hanami di berbagai istana mereka, dan para petanimasa itu melakukannya dengan mendaki gunung terdekat di awal musim semi untukmenikmati bunga sakura yang tumbuh disana sambil `tidak lupa membawa bekal untukmakan siang. Hingga kini hanami menjadi kebiasaan yang mengakar di seluruh masyarakatJepang dan telah di terima sebagai salah satu kekhasan bangsanya.

Khusus di daerahKansai dan Jepang Barat, tempat-tempat unggulan untuk ber-hanami adalah Arashiyama diKyoto, Yoshino di Nara, taman disekitar OsakaCastle dan Taman Shukugawa diNishinomiya, Prefektur Hyogo.Waktu bunga sakura bermekaran di pohonnya berbeda-beda dari satu daerah kedaerah lainnya, dimulai dari daerah paling selatan. Tapi rata-rata mekar dari akhir Marethingga awal April (kecuali di Okinawa dan Hokkaido). Dengan demikian pesta memandangdan menikmati sakura juga berlainan waktunya dari satu daerah ke daerah lainnya.Prakiraan pergerakan mekarnya bunga sakura disebut garis depan bunga sakura(sakurazensen) .

Prakiraan ini dikeluarkan oleh direktorat meteorologi dan berbagai badanyang berurusan dengan cuaca. Saat melakukan hanami di suatu tempat adalah ketikasemua pohon sakura yang ada di tempat tersebut bunganya sudah mekar semua.Namun akhir-akhir ini tradisi hanami membawa dampak negatif. Banyak orangJepang yang mabuk dan angka kecelakaan pun meningkat. Taman pun menjadi gunungsampah. Di saat hanami kelihatannya kesadaran tertib buang sampah menjadi luntur.Sayang sekali. Tapi di sisi lain, hanami seperti sebuah `rehat` singkat dari striknya hiduporang-orang Jepang. Hanami juga merupakan pembelajaran berharga bagi anak tentangalam dan tradisi.

OSAKA Osaka Castle di kota Osaka termasuk salah satu tempat favorit untuk ber-hanami.Para peneliti memperkirakan bahwa wilayah yang kini dikenal dengan nama kota Osakatelah dihuni manusia sejak sepuluh ribu tahun lalu. Sekitar abad ke-5, kebudayaan Timur telah diperkenalkan ke wilayah Jepang melalui Peninsula Korea lalu Osaka yang dikemudianhari menjadi pusat kebudayaan dan politik Jepang.Pada abad ke-7, ibukota pertama Jepang didirikan di Osaka dan ia menjadi pintugerbang kebudayaan dan perdagangan utama Jepang.

Kemudian suatu saat sekitar akhir abad ke-12 kekuatan politik disana jatuh ketangan kelas pendekar perang dan Jepang mulai memasuki masa perselisihan sipil dan intrik muncul dimana-mana hingga menumbuhkanketidakpastian masa depan rakyatnya.Pada tahun 1583, Toyotomi Hideyoshi seorang penguasa dimasanya berhasilmenyatukan Jepang dari masa kelam ini dan kemudian memilih Osaka sebagai tempattinggalnya. Ia membangun Osaka menjadi pusat politik serta ekonomi Jepang. Puri Osakaatau Osaka Castle merupakan salah satu saksi bisu kemegahan masa itu dan menjadibangunan terindah yang didirikan oleh Toyotomi Hideyoshi.

Puri ini dikelilingi taman yangpenuh pohon Cherry, Plum dan Sakura serta berbunga indah saat musim semi. Bunga yangmenjadi kebanggaan masyarakat setempat serta mengundang kekaguman para pengunjungsaat ber-hanami.Di abad ke-17 walalupun pusat kekuatan politik telah bergeser ke Tokyo, Osaka terusberlanjut memainkan peran yang penting dalam mengatur perekonomian dan distribusibarang di Jepang. Di masa ini pula kebudayaan kota berkembang pesat antara lain melaluilahirnya sekolah-sekolah yang dikelola pihak swasta dengan sistim pendidikan yang berbedadari yang dilaksanakan oleh pemerintah dimasa itu.

Melalui cara ini, cara berpikir terbukadan semangat berwirausaha telah dipupuk dan menjadikan Osaka dikemudian hari menjadisuatu kota metropolis yang modern serta menjadi kota terbesar ketiga di Jepang.Pada masa lalu, Osaka memang pernah menjadi pusat perdagangan Jepang. Kini,seiring dengan kemajuan jaman, sejak akhir tahun 1990an banyak perusahaan-perusahaanterkemuka memindahkan kantor pusat mereka ke Tokyo. Namun beberapa tetapmempertahankan tradisi berkantor pusat di Osaka.
 
Jepang sudah menjadi salah satu negara yang mengejutkan di dunia ini. Jepang suka membuat orang terkejut karena keanehannya. Semenjak google ada, rahasia negara Jepang mulai terbuka dimulai dari ninja hingga gorila. Tidak ada kata "terlalu berlebihan" bagi orang Jepang. Bayangkan kalian dapat menemukan hal-hal unik dan aneh di negara ini, seperti cara berpakaian, festival, acara kuis yang aneh, dan sebagainya. Nah, salah satunya adalah mengenai makanan dan minuman.Entah mengapa mereka menyediakan minuman-minuman aneh ini ?(Apa karena disana kurang miuman yang enak ya?) Berikut ini adalah beberapa minuman aneh di Jepang yang berhasil saya temukan.

1. Bir Khusus untuk Anak
cocok anak kecil yang doyan minum bir atau untuk nemenin bokapnya yang demen ngebir

2. Minuman dari plasenta babi yang ditambahkan mint
Minuman ini pastinya haram bila dikonsumsi oleh orang muslim. karena kandungan bahan yang menggunakan binatang babi.

3. Unagi Nobori Soda
Rasanya sedikit anyir-anyir gitu deh

4. Minuman Okkikunare
Kata iklan minuman ini, perempuan yang minum minuman ini bisa memperbesar ukuran payudaranya. Bagi wanita yang termakan oleh iklan tersebut, maka dia pasti meminum minuman ini dan ternyata banyak loh yang minum. Minuman ini tersedia dalam tiga rasa, buah apel, persik dan mangga. Harganya kurang lebih 200 yen. Menurut perusahaan yang membuatnya, minuman ini mengandung isoflavon seperti yang terdapat pada kacang kedelai, yang dapat merangsang pertumbuhan hormon perempuan.

5. Minuman rasa Kari dan Lemon
ada ada aja

6. Pepsi Rasa Aneh
Dari kiri ke kanan adalah pepsi dengan rasa Shiso(campuran basil dan mint), rasa yogurt, dan rasa ketimun. Pepsi sering melalukan inovasi di Jepang untuk menyaingi Coca-cola yang ada diurutan pertama.

7. Air putih untuk diet
air putih untuk diet? hmmm...

8. Hot Calpis
Familiar dengan merek diatas? Yup, ini adalah Calpico. Di Jepang disebutnya Calpis. Calpis dengan rasa panas? Tidak terbayangkan...