LATAR BELAKANG

Pelaksanaan pendidikan nasional harus menjamin pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan di tengah perubahan global agar warga Indonesia menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, cerdas, produktif, dan berdaya saing tinggi dalam pergaulan nasional maupun internasional. Untuk menjamin tercapainya tujuan pendidikan tersebut, Pemerintah telah mengamanatkan penyusunan delapan standar nasional pendidikan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimum tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pelaksanaan pembelajaran dalam pendidikan nasional berpusat pada peserta didik agar dapat: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Untuk menjamin terwujudnya hal tersebut diperlukan adanya sarana dan prasarana yang memadai. Sarana dan prasarana yang memadai tersebut harus memenuhi ketentuan minimum yang ditetapkan dalam standar sarana dan prasarana.

Standar sarana dan prasarana ini untuk lingkup pendidikan formal, jenis pendidikan umum, jenjang pendidikan dasar dan menengah yaitu: Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA). Standar sarana dan prasarana ini mencakup:
1. kriteria minimum sarana yang terdiri dari perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, teknologi informasi dan komunikasi, serta perlengkapan lain yang wajib dimiliki oleh setiap sekolah/madrasah,
2. kriteria minimum prasarana yang terdiri dari lahan, bangunan, ruang-ruang, dan instalasi daya dan jasa yang wajib dimiliki oleh setiap sekolah/madrasah.

PENGERTIAN
1. Sarana adalah perlengkapan pembelajaran yang dapat dipindah-pindah.
2. Prasarana adalah fasilitas dasar untuk menjalankan fungsi sekolah/madrasah.
3. Perabot adalah sarana pengisi ruang.
4. Peralatan pendidikan adalah sarana yang secara langsung digunakan untuk pembelajaran.
5. Media pendidikan adalah peralatan pendidikan yang digunakan untuk membantu komunikasi dalam pembelajaran.
6. Buku adalah karya tulis yang diterbitkan sebagai sumber belajar.
7. Buku teks pelajaran adalah buku pelajaran yang menjadi pegangan peserta didik dan guru untuk setiap mata pelajaran.
8. Buku pengayaan adalah buku untuk memperkaya pengetahuan peserta didik dan guru.
9. Buku referensi adalah buku rujukan untuk mencari informasi atau data tertentu.
10. Sumber belajar lainnya adalah sumber informasi dalam bentuk selain buku meliputi jurnal, majalah, surat kabar, poster, situs (website), dan compact disk.
11. Bahan habis pakai adalah barang yang digunakan dan habis dalam waktu relatif singkat.
12. Perlengkapan lain adalah alat mesin kantor dan peralatan tambahan yang digunakan untuk mendukung fungsi sekolah/madrasah.
13. Teknologi informasi dan komunikasi adalah satuan perangkat keras dan lunak yang berkaitan dengan akses dan pengelolaan informasi dan komunikasi.
14. Lahan adalah bidang permukaan tanah yang di atasnya terdapat prasarana sekolah/madrasah meliputi bangunan, lahan praktik, lahan untuk prasarana penunjang, dan lahan pertamanan.
15. Bangunan adalah gedung yang digunakan untuk menjalankan fungsi sekolah/madrasah.
16. Ruang kelas adalah ruang untuk pembelajaran teori dan praktik yang tidak memerlukan peralatan khusus.
17. Ruang perpustakaan adalah ruang untuk menyimpan dan memperoleh informasi dari berbagai jenis bahan pustaka.
18. Ruang laboratorium adalah ruang untuk pembelajaran secara praktik yang memerlukan peralatan khusus.
19. Ruang pimpinan adalah ruang untuk pimpinan melakukan kegiatan pengelolaan sekolah/madrasah.
20. Ruang guru adalah ruang untuk guru bekerja di luar kelas, beristirahat, dan menerima tamu. 21. Ruang tata usaha adalah ruang untuk pengelolaan administrasi sekolah/madrasah.
22. Ruang konseling adalah ruang untuk peserta didik mendapatkan layanan konseling dari konselor berkaitan dengan pengembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir.
23. Ruang UKS adalah ruang untuk menangani peserta didik yang mengalami gangguan kesehatan dini dan ringan di sekolah/madrasah.
24. Tempat beribadah adalah tempat warga sekolah/madrasah melakukan ibadah yang diwajibkan oleh agama masing-masing pada waktu sekolah.
25. Ruang organisasi kesiswaan adalah ruang untuk melakukan kegiatan kesekretariatan pengelolaan organisasi peserta didik.
26. Jamban adalah ruang untuk buang air besar dan/atau kecil.
27. Gudang adalah ruang untuk menyimpan peralatan pembelajaran di luar kelas, peralatan sekolah/madrasah yang tidak/belum berfungsi, dan arsip sekolah/madrasah.
28. Ruang sirkulasi adalah ruang penghubung antar bagian bangunan sekolah/madrasah.
29. Tempat berolahraga adalah ruang terbuka atau tertutup yang dilengkapi dengan sarana untuk melakukan pendidikan jasmani dan olah raga.
30. Tempat bermain adalah ruang terbuka atau tertutup untuk peserta didik dapat melakukan kegiatan bebas.
31. Rombongan belajar adalah kelompok peserta didik yang terdaftar pada satu satuan kelas.

PRASANA SEKOLAH
Sebuah SD/MI sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut:
1. ruang kelas,
2. ruang perpustakaan,
3. laboratorium IPA,
4. ruang pimpinan,
5. ruang guru,
6. tempat beribadah,
7. ruang UKS,
8. jamban,
9. gudang,
10. ruang sirkulasi,
11. tempat bermain/berolahraga.

Sebuah SMP/MTs sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut:
1. ruang kelas,
2. ruang perpustakaan,
3. ruang laboratorium IPA,
4. ruang pimpinan,
5. ruang guru,
6. ruang tata usaha,
7. tempat beribadah,
8. ruang konseling,
9. ruang UKS,
10. ruang organisasi kesiswaan,
11. jamban,
12. gudang,
13. ruang sirkulasi,
14. tempat bermain/berolahraga.

Sebuah SMA/MA sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut:
1. ruang kelas,
2. ruang perpustakaan,
3. ruang laboratorium biologi,
4. ruang laboratorium fisika,
5. ruang laboratorium kimia,
6. ruang laboratorium komputer,
7. ruang laboratorium bahasa,
8. ruang pimpinan,
9. ruang guru,
10. ruang tata usaha,
11. tempat beribadah,
12. ruang konseling,
13. ruang UKS,
14. ruang organisasi kesiswaan,
15. jamban,
16. gudang,
17. ruang sirkulasi,
18. tempat bermain/berolahraga.

Sumber: PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2007
 
administrasi.pptx
File Size: 263 kb
File Type: pptx
Download File

 
bk_profesi.ppt
File Size: 891 kb
File Type: ppt
Download File

 
Oleh Tekla NH S,Pd
“Apa sih bimbingan konseling atau BK itu?” “ Kok, tidak ada nilai BK di dalam rapot?” Ini adalah deretan pertanyaan yang datang dari beberapa siswa-siswi SMA tentang bimbingan konseling (BK) yang ada di sekolah. Hal ini menandakan bahwa masih banyak orang yang belum sungguh-sungguh mengenal BK dan apa manfaat dari pelayanan BK itu sendiri.
Bimbingan dan Konseling memiliki dua makna yang berbeda namun saling berkaitan satu dengan lainnya. Menurut Sertzer dan Stone (1981), mengatakan bahwa The process of helping individuals to understand themselves and their world (bimbingan diartikan sebagai proses membantu orang-perorangan untuk memahami dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya). Proses, menunjuk pada gejala bahwa sesuatu akan berubah secara berangsur-angsur selama kurun waktu tertentu. Oleh karena itu bimbingan bukanlah suatu peristiwa yang terjadi sekali saja, melainkan mencakup sejumlah tahap yang secara berangkaian dan terstruktur membawa ke tujuan yang ingin dicapai. Membantu berarti memberikan pertolongan dalam menghadapi dan mengatasi tantangan serta kesulitan yang timbul dalam kehidupan manusia.
Orang-perorangan menunjuk pada individu atau orang tertentu yang dibantu seperti para siswa di sekolah, mahasiswa, orangtua/keluarga, orang dewasa, atau para manula. Para individu ini sering menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan yang selalu muncul dalam kehidupan mereka. Tantangan dan kesulitan ini harus mereka hayati sebagai suatu masalah yang harus diatasi, agar perkembanga selanjutnya dapat berjalan dengan lancar. Memahami diri berarti mengenal diri sendiri secara lebih mendalam dan menetapkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai, serta membentuk nilai-nilai (values) yang akan menjadi pegangan selama hidupnya (Winkel, 1990). Tujuan dari pelayanan bimbingan oleh tenaga profesional adalah semua bidang kehidupan yang mencakup perkembangan kepribadian yang seoptimal mungkin. Dalam rangka mengembangkan dirinya sendiri orang harus mengenal dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya. Dia harus membangun cita-cita yang ingin dicapai dan menimbang beraneka dorongan motivasional yang terdapat dalam dirinya sendiri. Selanjutnya, dia harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang terbuka baginya untuk mewujudkan cita-citanya, kemudian memperhitungkan kewajibannya terhadap sesama manusia. Tahap selanjutnya yang perlu dilakukannya adalah, merencanakan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mencapai suatu tujuan. Akhirnya, dia harus mengadakan evaluasi atas dirinya dan arah kehidupannya sendiri. Tujuan ini yang menjadi ciri khas dari bimbingan sebagai bantuan.

Istilah konseling sendiri berasal dari kata Latin “consilum” yang berarti “dengan” atau “bersama” dan “mengambil” atau “memegang”. Maka dapat dirumuskan sebagai memegang, atau mengambil bersama. Ungkapan ini didukung pula oleh ahli konseling W.S Winkel bahwa konseling mengandung suatu proses antarpribadi yang berlangsung melalui saluran komunikasi verbal dan non verbal. Dengan menciptakan kondisi positif seperti empati, penerimaan serta penghargaan, keikhlasan serta kejujuran, dan perhatian yang tulen (facilitative conditions), konselor menginginkan konseli untuk merefleksi atas diri sendiri serta pengalaman hidupnya, memahami diri sendiri serta situasi kehidupannya dan berdasarkan itu menemukan penyelesaian atas masalah yang dihadapi (Winkel, 1990). Konseling meliputi relasi tatap muka secara pribadi antara dua orang di mana si konselor, lewat relasi tersebut dan dengan menggunakan kemampuan khususnya berusaha memberikan situasi belajar di mana si konseli ditolong untuk memahami dirinya sendiri dengan cara yang memuaskan bagi dirinya dan tidak merugikan orang lain atau masyarakat. Konseli belajar memecahkan masalah-masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu (Rebecca, 1982). Konseling berbeda dengan bimbingan namun memiliki tingkat kesesuaian yang tercakup dalam bimbingan konseling. Bimbingan adalah relasi yang bertujuan menolong dan tepat diberikan kepada seseorang yang sedang membutuhkan bantuan rangka memahami dirinya sendiri dan lingkungan, serta dalam rangka membuat keputusan-keputusan yang bijaksana menyangkut pendidikan, pekerjaan, atau masalah pribadinya. Sedangkan konseling bertujuan memecahkan masalah-masalah pribadi atau yang menyangkut soal yang sama, namun secara langsung lebih bertujuan untuk menolong si konseli memperoleh informasi, mendapatkan orientasi dalam menghadapi masalah-masalah baru, merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam tugas-tugas perkembangannya, mengumpulkan data untuk membuat keputusan-keputusan berkaitan dengan kelanjutan studi atau memilih bidang pekerjaan, dll. Kesamaannya terletak pada tujuan untuk semakin memperkembangkan si konseli dalam setiap aspek kehidupannya sedangkan perbedaanya adalah bimbingan memiliki konotasi positif dan preventif (pencegahaan) dan konseling memiliki konotasi upaya memperbaiki atau menghilangkan suatu hambatan atau masalah yang sedang dialami si konseli.

Pelayanan konseling dalam sistem pendidikan di Indonesia mengalami beberapa perubahan nama. Pada kurikulum 1984 semula disebut Bimbingan dan Penyuluhan (BP), kemudian pada Kurikulum 1994 berganti nama menjadi Bimbingan dan Konseling (BK) sampai dengan sekarang. Sejalan dengan perubahan-perubahaan nama tersebut, di dalamnya terkandung berbagai usaha perubahan untuk memantapkan konseling sebagai suatu profesi. Oleh karena itu seorang konselor sekolah hendaklah profesional dalam menjalankan tugas. Pelayanan BK di sekolah lebih menekankan pada cinta kasih. Dengan cinta kasih seorang konselor akan lebih empatik kepada siswanya. Relasi yang baik, hangat dan penuh penerimaan antara siswa dengan konselor sekolah akan memudahkan siswa untuk lebih memahami diri dan kondisi lingkungan dirinya dan lebih mudah mengambil keputusan dalam hidupnya demi kebaikan dirinya sendiri. Para siswa harus ditangani oleh konselor yang sungguh profesional dalam bidangnya karena di dalam konseling memiliki asas kerahasiaan, asas kesukarelaan, asas keterbukaan, asas kenormatifan, dll. Konselor sekolah hendaknya mentaati aturan-aturan dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling yang terdapat dalam kode etik keprofesian sebagai seorang guru BK.
Bahwa tidak terdapat nilai BK dalam raport tetapi hasil dari proses pelayanan BK di sekolah dapat dilihat pada perubahaan diri seseorang baik sikap, perilaku, pikiran, dan perasaannya yang menjadi lebih baik dan berani mengambil keputusan dan siap menjalankan keputusan-keputusan tersebut dengan segala konsekuensi yang ada. “Manusia merupakan makhluk rasional dan memiliki potensi-potensi yang bisa dikembangkan ke arah positif atau negatif”.

Sumber:1.Rebecca Mary. 1982. Peer Counseling, A Way of Life. Manila: The Peer Counseling Foundation.2.Winkel, W.S. 1990. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidiikan. Jakarta: Grasindo.3.Yeo Anthony. 2003. Konseling Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah. Jakarta: BPK
 
“Guru” adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi, dan profesi bagi seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan melalui interaksi edukatif secara terpola, formal, dan sistematis. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (pasal 1) dinyatakan bahwa: “Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengrahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah”. Guru professional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Keahlian yang dimiliki oleh guru profesional adalah keahlian yang diperoleh melalui suatu proses pendidikan dan pelatihan yang diprogramkan secara khusus untuk itu. Keahlian tersebut mendapat pengakuan formal yang dinyatakan dalam bentuk sertifikasi, akreditasi, dan lisensi dari pihak yang berwenang (dalam hal ini pemerintah dan organisasi profesi). Dengan keahliannya itu seorang guru mampu menunjukkan otonominya, baik secara pribadi maupun sebagai pemangku profesinya.
Di samping dengan keahliannya, sosok professional guru ditunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan seluruh pengabdiannya. Guru professional hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab sebagai guru kepada peserta didik, orang tua, masyarakat, bangsa, Negara, dan agamanya. Guru profesional mempunyai tanggung jawab pribadi, social, intelektual, moral, dan spiritual. Tanggung jawab pribadi yang mandiri yang mampu memahami dirinya. Tanggung jawab social diwujudkan melalui kompetensi guru dalam memahami dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan interaktif yang efektif. Tanggung jawab intelektual diwujudkan melalui penguasaaan berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menunjang tugas-tugasnya. Tanggung jawab spiritual dan moral diwujudkan melalui penampilan guru sebagai makhluk yang beragama yang perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma-norma agama dam moral.
Ciri profesi yang selanjutnya adalah kesejawatan, yaitu rasa kebersamaan di antara sesama guru. Kesejawatan ini diwujudkan dalam persatuan para guru melalui organisasi profesi dan perjuangan, yaitu PGRI. Melalui PGRI para guru mewujudkan rasa kebersamaannya dan memperjuangkan martabat diri dan profesinya di atas, pada dasarnya telah tersirat dalam kode Etik Guru Indonesia sebagai pegangan professional guru.
Sementara itu, para guru diharapkan akan memiliki jiwa profesionalisme, yaitu sikap mental yang senantiasa mendorong dirinya untuk mewujudkan dirinya sebagai petugas professional. Pada dasarnya profesionalisme itu, merupakan motivasi intrinsic pada diri guru sebagai pendorong untuk mengembangkan dirinya ke arah perwujudan profesional. Kualitas profesionalisme didukung oleh lima kompetensi sebagai berikut :
1. Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal.
Berdasarkan kriteria ini, jelas bahwa guru yang memiliki profesionalisme tinggi akan selalu berusaha mewujudkan dirinya sesuai dengan standar yang ideal. Ia akan mengidentifikasi dirinya kepada figur yang dipandang memiliki standar ideal. Yang dimaksud dengan “standar ideal” ialah suatu perangkat perilaku yang dipandang paling sempurna dan dijadikan sebagai rujukan.
2. Meningkatkan dan memelihara citra profesi
Profesionalisme yang tinggi ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan dan memelihara citra profesi melalui perwujudan perlaku profesional. Citra profesi adalah suatu gambaran terhadap profesi guru berdasarkan penilaian terhadap kinerjanya. Perwujudannya dilakukan melalui berbagai cara misalnya penampilan, cara bicara, penggunaan bahasa, postur, sikap hidup sehari-hari, hubungan antar pribadi, dsb.
3. Keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan professional yang dapat meningkatkan dan meperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampiannya.
Berdasarkan kriteria ini para guru diharapkan selalu berusaha mencari dan memanfaatkan kesempatan yang dapat mengembangkan profesinya. Berbagi kesempatan yang dapat dimanfaatkan antara lain:
(a) mengikuti kegiatan ilmiah misalnya lokakarya, seminar, symposium, dsb.,
(b) mengikuti penataran atau pendidikan lanjutan,
(c) melakukan penelitian dan pengabdian dana masyarakat,
(d) menelaah kepustakaan, membuat karya ilmiah,
(e) memasuki organisasi profesi (misalnya PGRI).
4. Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi
Profesionalisme ditandai kualitas derajat rasa bangga akan profesi yang dipegangnya. Dalam kaitan ini diharapkan agar para guru memiliki rasa bangga dan percaya diri akan profesinya. Rasa bangga ini ditunjukkan dengan penghargaan akan pengalamannya di masa lalu, dedikasi tinggi terhadap tugas-tugasnya sekarang, dan keyakinan akan potensi dirinya bagi perkembangan di masa depan.
Dalam UU Guru pasal 5 ayat (1) dikatakan bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip professional sebagai berikut :
a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealism
b. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya
c. Memiliki kompetensis yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya
d. Mematuhi kode etik profesi
e. Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas
f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya
g. Memiliki kesempatan untuk mengembnagkan profesinya secara berkelanjutan
h. Memperoleh perlindungan hokum dalam melaksanakan tugas profesionalnya
Memiliki organisasi profesi yang berbadan hokum
Undang-undang Guru dan Dosen sebagai peluang dan tantangan
Dikaitkan dengan proteksi hak azasi dan profesi guru, undang-undang guru sangat diperlukan dengan tujuan : (1). Mengangkat harkat citra dan martabat guru, (2). Meningkatakan tanggung jawab profesi guru sebagai profesi pengajar, pendidik, pelatih, pembimbing, dan manajer pembelajaran, (3). Memberdayakan dan mendayagunakan profesi guru secara optimal, (4). Memberikan jaminan kesejahteraan dan perlindungan terhadap profesi guru, (5). Meningkatakan mutu pelayanan dan hasil pendidikan, (6). Mendorong peran serta masyarakat dan kepedulian terhadap guru. Setelah melalui perjuangan panjang selama lima tahun sejak 1999, dengan melampaui empat presiden dan empat menteri pendidikan, saat ini UU Guru telah disahkan menjadi, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kelahiran Undang-undang Guru ini merupakan payung dan landasan hukum bagi terwujudnya guru professional, sejahtera, dan terlindungi. Pada gilirannya akan terwujud kinerja guru professional dan sejahtera demi terwujudnya pendidikan nasional yang bermutu dalam rangka pengembangan sumber daya manusia Indonesia.
Undang-undang ini memberikan landasan kepastian hokum yang untuk perbaikan guru di masa depan khususnya yang berkenaan dengan profesi, kesejahteraan, jaminan social, hak dan kewajiban, serta perlindungan. Beberapa substansi RUU Guru yang bernilai “pembaharuan” untuk mendukung profesionalitas dan kesejahteraan guru antara lain yang berkenaan :
(1). Kualifikasi dan kompetensi guru : yang mensyaratkan kualifikasi akademik guru minimal lulusan S-1 atau Diploma IV, dengan kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi pedagogic, kepribadian, professional, dan social.
(2). Hak guru : yang berupa penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum berupa gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait tugasnya sebagai guru. (Pasal 15 Ayat )
(3). Kewajiban guru ; untuk mengisi keadaan darurat adanya wajib kerja sebagai guru bagi PNS yang memenuhi persyaratan.
(4). Pengembangan profesi guru; melalui pendidikan guru yang lebih berorientasi pada pengembangan kepribadian dan profesi dalam satu lembaga yang terpadu.
(5). Perlindungan; guru mendapat perlindungamn hukum dalam berbagai tindakan yang merugikan profesi, kesejahteraan, dan keselamatan kerja.
(6). Organisasi profesi; sebagai wadah independen untuk meningkatkan kompetisi karir, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteran dan atau pengabdian, menetapkan kode etik guru, memperjuangkan aspirasi dan hak-hak guru.
Sertifikasi sebagai realisasi
Dengan lahirnya undang-undang no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, maka prospek guru di masa mendatang sebgai guru yang professional, sejahtera, dan terlindungi. Pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional dibuktikan dengan sertifikat pendidik (pasal 2 dan 3). Sebagai guru professional disyaratkan para guru wajib memilki: (1) kualifikasi akademik sarjana atau diploma IV, (2) Kompetensi Pedagogik, kepribadian, social dan professional, (3) sertifikat pendidik, (4) sehat jasmani dan rohni, (5) kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional (pasal 8 s/d 12). Sehubungan dengan persyratan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang tersebut, maka guru wajib memilki sertifikat pendidik sebagai bukti formal sebagai tenaga professional. Sertifikat pendidikan diperoleh melalui sertifikasi pendidik bagi guru diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memilki program tenaga kegandaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah (pasal 11 ayat 2). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk meningkatkan dan mewujudkan profesionalitas guru sekurang-kurangnya ada tiga ahal yang saling terkait yaitu kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi guru.
Berkenaan dengan kualifikasi akademik guru, dalam pasal tiga RPP guru dinyatakan sebagai berikut: “kualifikasi akademik guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ditunjukan dengan ijazah yang merefleksikan kemampuan yang dipersyaratan bagi guru untuk melaksanakan tugas sebagai pendidi pada jenjang, jenis, dan satuan pendidikan atau mata pelajaran yang dia punya sesuai standar Nasional pendidikan”. Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui program pendidikan formal sarjana (S1) atau program p[endidikan diploma empat (D-IV) pada perguruan tinggi yang memilkimprogram pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi atau perguruan tinggi nonkependidikan yang terakreditasi.
Selanjutnya berkenaan dengan kompetensi, diartikan sebagai seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimilki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksnakan tugas keprefosionalan. Kompetensi guru kompetensi pedagogic, kopetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi, pelatihan, dan pengalaman professional. Untuk mewujudkan guru professional melalui sertifikasi ditempuh melalui pendidikan profesi. Pendidikan profesi terdiri atas dua bentuk yaitu pendidikan profesi bagi calin guru dan pendidikan profesi bagi guru dalam jabatan yang dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel
 
A. Konsep Dasar Sikap dan Perilaku

Thursthoen dalam Walgito (1990: 108) menjelaskan bahwa, sikap adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek. Berkowitz, dalam Azwar (2000:5) menerangkan sikap seseorang pada suatu objek adalah perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon atau kecenderungan untuk bereaksi. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakan atau menjauhi/menghindari sesuatu.Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan, pandangan, pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek.

Struktur sikap siswa terhadap konselor terdiri dari tiga komponen yang terdiri atas:1. Komponen kognitif, Komponen ini berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, dan keyakinan tentang objek. Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsi objek sikap.2. Komponen afektif, Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap sikap. Perasaan tersebut dapat berupa rasa senang atau tidak senang terhadap objek, rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.. komponen ini menunjukkan ke arah sikap yaitu positif dan negatif. Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap (Azwar, 2000:26), secara umum komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap.3. Komponen konatif, Komponen ini merupakan kecenderungan seseorang untuk bereaksi, bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Komponen-komponen tersebut di atas merupakan komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen tersebut saling berhubungan dan tergantung satu sama lain. Saling ketergantungan tersebut apabila seseorang menghadapi suatu objek tertentu, maka melalui komponen kognitifnya akan terjadi persepsi pemahaman terhadap objek sikap.

Hasil pemahaman sikap individu mengakui dapat menimbulkan keyakinan-keyakinan tertentu terhadap suatu objek yang dapat berarti atau tidak berarti. Dalam setiap individu akan berkembang komponen afektif yang kemudian akan memberikan emosinya yang mungkin positif dan mungkin negatif. Bila penilaiannya positif akan menimbulkan rasa senang, sedangkan penilaian negatif akan menimbulkan perasaan tidak senang. Akhirnya berdasarkan penilaian tersebut akan mempengaruhi konasinya, melalui inilah akan mendapat diketahui apakah individu ada kecenderungan bertindak dalam bertingkah laku, baik hanya secara lisan maupun bertingkah laku secara nyata.

Katz (dalam Walgito, 1990:110) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai empat fungsi, yaitu:1. Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian, atau fungsi manfaat.Fungsi ini berkaitan dengan sarana tujuan. Di sini sikap merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Orang memandang sampai sejauh mana objek sikap dapat digunakan sebagai sarana dalam mencapai tujuan. Bila objek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya, maka orang akan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut. Demikian sebaliknya bila objek sikap menghambat dalam pencapaian tujuan, maka orang akan bersikap negatif terhadap objek sikap tersebut. Fungsi ini juga disebut fungsi manfaat, yang artinya sampai sejauh mana manfaat objek sikap dalam mencapai tujuan. Fungsi ini juga disebut sebagai fungsi penyesuaian, artinya sikap yang diambil seseorang akan dapat menyesuaikan diri secara baik terhadap sekitarnya.

2. Fungsi pertahanan ego, Ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang demi untuk mempertahankan ego atau akunya. Sikap diambil seseorang pada waktu orang yang bersangkutan terancam dalam keadaan dirinya atau egonya, maka dalam keadaan terdesak sikapnya dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego. 3. Fungsi ekspresi nilai. Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai yang ada dalam dirinya. Dengan mengekspresikan diri seseorang akan mendapatkan kepuasan dan dapat menunjukkan keadaan dirinya. Dengan mengambil nilai sikap tertentu, akan dapat menggambarkan sistem nilai yang ada pada individu yang bersangkutan. 4. Fungsi pengetahuan. Fungsi ini mempunyai arti bahwa setiap individu mempunyai dorongan untuk ingin tahu. Dengan pengalamannya yang tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu, akan disusun kembali atau diubah sedemikian rupa sehingga menjadi konsisten. Ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan tentang pengetahuan orang tersebut objek sikap yang bersangkutan.

Dalam persepsi objek sikap individu akan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, keyakinan, proses belajar, dan hasil proses persepsi ini akan merupakan pendapat atau keyakinan individu mengenai objek sikap dan ini berkaitan dengan segi kognisi. Afeksi akan mengiringi hasil kognisi terhadap objek sikap sebagai aspek evaluatif, yang dapat bersifat positif atau negatif. Hasil evaluasi aspek afeksi akan mengait segi konasi, yaitu merupakan kesiapan untuk memberikan respon terhadap objek sikap, kesiapan untuk bertindak dan untuk berperilaku. Keadaan lingkungan akan memberikan pengaruh terhadap objek sikap maupun pada individu yang bersangkutan.

Bringham dalam Azwar (2000:138) menjelaskan tipe ukuran sikap yang paling sering dipakai adalah questioner self-report yang disebut skala sikap dan biasanya meliputi respon setuju atau tidak dalam beberapa kelompok-kelompok. Ukuran self-report mudah digunakan namun ukuran itu dapat memiliki sifat kemenduaan (ambiguity) atau adanya ukuran lain. Sikap dari skala sikap ini adalah isi pernyataan yang berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan ukuran atau pernyataan tidak langsung yang kurang jelas untuk tujuan ukurannya bagi responden.

Mengukur sikap bukan suatu hal yang mudah sebab sikap adalah kecenderungan, pandangan pendapat, atau pendirian seseorang untuk meneliti suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya, dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek. Dalam penelitian sikap, tergantung pada kepekaan dan kecermatan pengukurannya. Perlu diperhatikan metode yang berhubungan dengan pengukuran sikap, bagaimana instrumen itu dapat dikembangkan dan digunakan untuk mengukur sikap.

Azwar (2000:90) menjelaskan bahwa, metode yang bisa digunakan untuk pengungkapan sikap yaitu: 1. Observasi perilakuKalau seseorang menampakkan perilaku yang konsisten (terulang) misalnya tidak pernah mau diajak nonton film Indonesia, bukanlah dapat disimpulkan bahwa ia tidak menyukai film Indonesia. Orang lain yang selalu memakai baju warna putih, bukankah dia memperlihatkan sikapnya terhadap warna putih. Perilaku tertentu bahkan kadang-kadang sengaja ditampakkan untuk menyembunyikan sikap yang sebenarnya. Dengan demikian, perilaku yang diamati mungkin saja dapat menjadi indikator sikap dalam kontek situasional tertentu, tetapi interpretasi sikap warna sangat berhati-hati apabila hanya didasarkan dari pengamatan terhadap perilaku yang ditampakkan oleh seseorang. 2. Pertanyaan langsung. Asumsi yang mendasari metode pertanyaan langsung guna pengungkapan sikap, pertama adalah asumsi bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri, dan kedua adalah asumsi keterusterangan bahwa manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakannya. 3. Pengungkapan langsung. Suatu metode pertanyaan langsung adalah pengungkapan langsung (direct assessment) secara tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan item tunggal maupun dengan menggunakan item ganda. Prosedur pengungkapan langsung dengan item ganda sangat sederhana. Responden diminta untuk menjawab langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan memberi tanda setuju atau tidak setuju. Penyajian dan pemberian respondennya yang dilakukan secara tertulis memungkinkan individu untuk menyatakan sikap secara lebih jujur. Pengukuran sikap yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pengungkapan langsung yaitu dengan menggunakan skala psikologis yang diberikan pada objek.

Sikap dan Perilaku Guru yang Profesional

Pemerintah sering melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru, antara lain melalui seminar, pelatihan, dan loka karya, bahkam melalui pendidikan formal bahkan dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih tinggi. Kendatipun dalam pelakansaannya masih jauh dari harapan, dan banyak penyimpangan, namun paling tidak telah menghasilkan suatu kondisi yang yang menunjukkan bahwa sebagian guru memiliki ijazah perguruan tinggi.
Latar belakang pendidikan ini mestinya berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan, bersamaan dengan faktor lain yang mempengaruhi. Walaupun dalam kenyataannya banyak guru yang melakukan kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang seringkali tidak disadari oleh guru dalam pembelajaran ada tujuh kesalahan.

Kesalahan-kesalahan itu antara lain:
mengambil jalan pintas dalam pembelajaran,
menunggu peserta didik berperilaku negatif,
menggunakan destruktif discipline,
mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik,
merasa diri paling pandai di kelasnya,
tidak adil (diskriminatif), serta
memaksakan hak peserta didik (Mulyasa, 2005:20).


Untuk mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut maka seorang guru yang profesional harus memiliki empat kompetensi. Kompetensi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dosen dan Guru, yakni:
kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik,
kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik,
kompetensi profesional adalah kamampuan penguasaan materi pelajaran luas mendalam,
kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.


Sikap dikatakan sebagai suatu respons evaluatif. Respon hanya akan timbul, apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang dikehendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbul didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik buruk, positif negati, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2000: 15).Sedangkan perilaku merupakan bentuk tindakan nyata seseorang sebagai akibat dari adanya aksi respon dan reaksi. Menurut Mann dalam Azwar (2000) sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata namun juga ditentukan faktor eksternal lainnya.

Menurut penuturan R.Tantiningsih dalam Wawasan 14 Mei 2005, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan agar beberapa sikap dan perilaku menyimpang dalam dunia pendidikan dapat hindari, diantaranya: Pertama, menyiapakan tenaga pendidik yang benar-benar profesional yang dapat menghormati siswa secara utuh. Kedua, guru merupakan key succes factor dalam keberhasilan budi pekerti. Dari guru siswa mendapatkan action exercise dari pembelajaran yang diberikan. Guru sebagai panutan hendaknya menjaga image dalam bersikap dan berperilaku. Ketiga, Budi pekerti dijadikan mata pelajaran khusus di sekolah. Kempat, adanya kerjasama dan interaksi yang erat antara siswa, guru (sekolah), dan orang tua.Terkait dengan hal di atas, Hasil temuan dari universitas Harvard bahwa 85 % dari sebab-sebab kesuksesan, pencapaian sasaran, promosi jabatan, dan lain-lain adalah karena sikap-sikap seseorang. Hanya 15 % disebabkan oleh keahlian atau kompetensi teknis yang dimiliki (Ronnie, 2005:62).Namun sayangnya justru kemampuan yang bersifat teknis ini yang menjadi primadona dalam istisusi pendidikan yang dianggap modern sekarang ini. Bahkan kompetensi teknis ini dijadikan basis utama dari proses belajar mengajar. Jelas hal ini bukan solusi, bahkan akan membuat permasalahan semakin menjadi. Semakin menggelembung dan semakin sulit untuk diatasi.


Menurut Danni Ronnie M ada enam belas pilar agar guru dapat mengajar dengan hati. Keenam belas pilar tersebut menekankan pada sikap dan perilaku pendidik untuk mengembangkan potensi peserta didik. Enam belas pilar pembentukan karakter yang harus dimiliki seorang guru, antara lain: (1) kasih sayang, (2) penghargaan, (3) pemberian ruang untuk mengembangkan diri, (4) kepercayaan, (5) kerjasama, (6) saling berbagi, (7) saling memotivasi, (8) saling mendengarkan, (9) saling berinteraksi secara positif, (10) saling menanamkan nilai-nilai moral, (11) saling mengingatkan dengan ketulusan hati, (12) saling menularkan antusiasme, (13) saling menggali potensi diri, (14) saling mengajari dengan kerendahan hati, (15) saling menginsiprasi, dan (16) saling menghormati perbedaan.


Jika para pendidik menyadari dan memiliki menerapkan 16 pilar pembangunan karakter tersebut jelas akan memberikan sumbangsih yang luar biasa kepada masyarakat dan negaranya.

C. Faktor Penyebab Sikap dan Perilaku Guru Menyimpang

Pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskan anak bangsa. Berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan telah dilaksanakan walapun belum menunjukkan hasil yang optimal. Pendidikan tidak bisa lepas dari siswa atau peserta didik. Siswa merupakan subjek didik yang harus diakui keberadaannya. Berbagai karakter siswa dan potensi dalam dirinya tidak boleh diabaikan begitu saja. Tugas utama guru mendidik dan mengembangkan berbagai potensi itu.Jika ada pendidik (guru) yang sikap dan perilakunya menyimpang karena dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, adanya malpraktik (meminjam istilah Prof Mungin) yaitu melakukan praktik yang salah, miskonsep. Guru salah dalam menerapkan hukuman pada siswa. Apapun alasannya tindakan kekerasan maupun pencabulan guru terhadap siswa merupakan suatu pelanggaran.

Kedua, kurang siapnya guru maupun siswa secara fisik, mental, maupun emosional. Kesiapan fisik, mental, dan emosional guru maupun siswa sangat diperlukan. Jika kedua belah pihak siap secara fisik, mental, dan emosional, proses belajar mengajar akan lancar, interaksi siswa dan guru pun akan terjalin harmonis layaknya orang tua dengan anaknya.

Ketiga, kurangnya penanaman budi pekerti di sekolah. Pelajaran budi pekerti sekarang ini sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada sifatnya hanya sebagai pelengkap, lantaran diintegrasikan dengan berbagai mata pelajaran yang ada. Namun realitas di lapangan pelajaran yang didapat siswa kabanyakan hanya dijejali berbagai materi. Sehingga nilai-nilai budi pekerti yang harus diajarkan justru dilupakan.

Selain dari ketiga faktor di atas, juga dipengaruhi oleh tipe-tipe kejiwaan seperti yang diungkapkan Plato dalam "Tipologo Plato", bahwa fungsi jiwa ada tiga, yaitu: fikiran, kemauan, dan perasaan. Pikiran berkedudukan di kepala, kemauan berkedudukan dalam dada, dan perasaan berkedudukan dalam tubuh bagian bawah. Atas perbedaan tersebut Plato juga membedakan bahwa pikiran itu sumber kebijakasanaan, kemauan sumber keberanian, dan perasaan sumber kekuatan menahan hawa nafsu.Jika pikiran, kemauan, perasaan tidak sinkron akan menimbulkan permasalahan. Perasaan tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, akibatnya kemauan tidak terkendali dan pikiran tidak dapat berpikir bijak. Agar pendidikan di Indonesia berhasil, paling tidak pendidik memahami faktor-faktor tersebut. Kemudian mampu mengantisipasinya dengan baik. Sehingga kesalahan-kesalahan guru dalam sikap dan perilaku dapat dihindari.Bagaimanapun juga kualitas pendidikan di Indonesia harus mampu bersaing di dunia internasional. Sikap dan perilaku profesional seorang pendidik akan mampu membawa dunia pendidikan lebih berkualitas. Dengan demikian diharapkan mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional Indonesia yaitu membentuk manusia Indonesia seutuhnya.

DAFTAR PUSTAKA

  • Azwar Saifuddin, 2000. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Mar'at, 1981.
  • Sikap Manusia Perubahan serta Pengukuran. Jakarta: Ghalia Indonesia.Mulyasa, 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.Ronnie M. Dani, 2005.
  • Seni Mengajar dengan Hati. Jakarta: Alex Media Komputindo.R. Tantiningsih, 2005.
  • Guru Cengkiling dan Amoral. Koran Harian Sore Wawasan. 14 Mei 2005.
  • Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: BP. Media Pustaka Mandiri.
  • Walgito, Bimo 1990. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM
Sumber: Rustantiningsih (Guru di SDN Anjasmoro 02 Semarang)
Homepage Pendidikan Network

 
Secara umum tujuan supervisi pengajaran adalah:(1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi belajar-mengajar,(2) mengendalikan penyelenggaraan bidang teknis edukatif di sekolah sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan kebijakan yang telah ditetapkan,(3) menjamin agar kegiatan sekolalah berlangsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga segala sesuatunya berjalan lancar dan diperoleh hasil yang optimal,(4) menilai keberhasilan sekolah dalam pelaksanaan tugasnya, dan(5) memberikan bimbingan langsung untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan dan kekilafan serta membantu memecahkan masalah yang dihadapi sekolah sehingga dapat dicegah kesalahan dan penyimpangan yang lebih jauh (Suprihatin, 1989:305).

Tujuan supervisi adalah memberikan layanan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas mengajar guru di kelas yang pada gilirannya untuk meningkatkan kualitas belajar siswa. Bukan saja memperbaiki kemampuan mengajar tetapi juga mengembangkan potensi kualitas guru (Sahertian, 2000:19).Permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan pendidikan dasar adalah bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif, yaitu sikap yang menciptakan situasi dan relasi di mana guru-guru merasa aman dan diterima sebagai subjek yang dapat berkembang sendiri. Untuk itu, supervisi harus dilaksanakan berdasarkan data, fakta yang objektif (Sahertian, 2000:20).Supandi (1986:252), menyatakan bahwa ada dua hal yang mendasari pentingnya supervisi dalam proses pendidikan.

a. Perkembangan kurikulum merupakan gejala kemajuan pendidikan.
Perkembangan tersebut sering menimbulkan perubahan struktur maupun fungsi kurikulum. Pelaksanaan kurikulum tersebut memerlukan penyesuaian yang terus-menerus dengan keadaan nyata di lapangan. Hal ini berarti bahwa guru-guru senantiasa harus berusaha mengembangkan kreativitasnya agar daya upaya pendidikan berdasarkan kurikulum dapat terlaksana secara baik. Namun demikian, upaya tersebut tidak selamanya berjalan mulus. Banyak hal sering menghambat, yaitu tidak lengkapnya informasi yang diterima, keadaan sekolah yang tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum, masyarakat yang tidak mau membantu, keterampilan menerapkan metode yang masih harus ditingkatkan dan bahkan proses memecahkan masalah belum terkuasai. Dengan demikian, guru dan Kepala Sekolah yang melaksanakan kebijakan pendidikan di tingkat paling mendasar memerlukan bantuan-bantuan khusus dalam memenuhi tuntutan pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum.

b. Pengembangan personel, pegawai atau karyawan senantiasa merupakan upaya yang terus-menerus dalam suatu organisasi.
Pengembangan personal dapat dilaksanakan secara formal dan informal. Pengembangan formal menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan melalui penataran, tugas belajar, loka karya dan sejenisnya. Sedangkan pengembangan informal merupakan tanggung jawab pegawai sendiri dan dilaksanakan secara mandiri atau bersama dengan rekan kerjanya, melalui berbagai kegiatan seperti kegiatan ilmiah, percobaan suatu metode mengajar, dan lain sebagainya.Kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses belajar-mengajar yang dilaksakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.

Secara umum ada 2 (dua) kegiatan yang termasuk dalam kategori supevisi pengajaran, yakni:
a. Supervisi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru SD.
Secara rutin dan terjadwal Kepala Sekolah melaksanakan kegiatan supervisi kepada guru-guru SD dengan harapan agar guru mampu memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam prosesnya, kepala sekolah memantau secara langsung ketika guru sedang mengajar. Guru mendesain kegiatan pembelajaran dalam bentuk Rencana Pembelajaran kemudian kepala sekolah mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru.Saat kegiatan supervisi berlangsung, kepala sekolah menggunakan leembar observasi yang sudah dibakukan, yakni Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG terdiri atas APKG 1 (untuk menilai Rencana Pembelajaran yang dibuat guru) dan APKG 2 (untuk menilai pelaksanaan proses pembelajaran) yang dilakukan guru.
b. Supervisi yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan guru-guru untuk meningkatkan kinerja.Kegiatan supervisi ini dilakukan oleh Pengawas Sekolah yang bertugas di suatu Gugus Sekolah. Gugus Sekolah adalah gabungan dari beberapa sekolah terdekat, biasanya terdiri atas 5-8 Sekolah Dasar.

Hal-hal yang diamati pengawas sekolah ketika melakukan kegiatan supervisi untuk memantau kinerja kepala sekolah, di antaranya administrasi sekolah, meliputi:

1) Bidang Akademik, mencakup kegiatan:(a) menyusun program tahunan dan semester,(b) mengatur jadwal pelajaran,(c) mengatur pelaksanaan penyusunan model satuan pembelajaran,(d) menentukan norma kenaikan kelas,(e) menentukan norma penilaian,(f) mengatur pelaksanaan evaluasi belajar,(g) meningkatkan perbaikan mengajar,(h) mengatur kegiatan kelas apabila guru tidak hadir, dan (i) mengatur disiplin dan tata tertib kelas.

2) Bidang Kesiswaan, mencakup kegiatan:(a) mengatur pelaksanaan penerimaan siswa baru berdasarkan peraturan penerimaan siswa baru, (b) mengelola layanan bimbingan dan konseling,(c) mencatat kehadiran dan ketidakhadiran siswa, dan(d) mengatur dan mengelola kegiatan ekstrakurikuler.

3) Bidang Personalia, mencakup kegiatan: (a) mengatur pembagian tugas guru,(b) mengajukan kenaikan pangkat, gaji, dan mutasi guru,(c) mengatur program kesejahteraan guru,(d) mencatat kehadiran dan ketidakhadiran guru, dan(e) mencatat masalah atau keluhan-keluhan guru.
4) Bidang Keuangan, mencakup kegiatan:(1) menyiapkan rencana anggaran dan belanja sekolah,(2) mencari sumber dana untuk kegiatan sekolah,(3) mengalokasikan dana untuk kegiatan sekolah, dan(4) mempertanggungjawab-kan keuangan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5) Bidang Sarana dan Prasarana, mencakup kegiatan:(1) penyediaan dan seleksi buku pegangan guru,(2) layanan perpustakaan dan laboratorium,(3) penggunaan alat peraga,(4) kebersihan dan keindahan lingkungan sekolah,(5) keindahan dan kebersihan kelas, dan(6) perbaikan kelengkapan kelas.
6) Bidang Hubungan Masyarakat, mencakup kegiatan:(1) kerjasama sekolah dengan orangtua siswa,(2) kerjasama sekolah dengan Komite Sekolah,(3) kerjasama sekolah dengan lembaga-lembaga terkait, dan(4) kerjasama sekolah dengan masyarakat sekitar (Depdiknas 1997).

Sedangkan ketika mensupervisi guru, hal-hal yang dipantau pengawas juga terkait dengan administrasi pembelajaran yang harus dikerjakan guru, diantaranya:
a. Penggunaan program semester
b. Penggunaan rencana pembelajaran
c. Penyusunan rencana harian
d. Program dan pelaksanaan evaluasi
e. Kumpulan soal
f. Buku pekerjaan siswa
g. Buku daftar nilai
h. Buku analisis hasil evaluasi
i. Buku program perbaikan dan pengayaan
j. Buku program Bimbingan dan Konselingk. Buku pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler

KESIMPULAN
Salah satu upaya peningkatan profesional guru adalah melalui supervisi pengajaran. Pelaksanaan supervisi pengajaran perlu dilakukan secara sistematis oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah bertujuan memberikan pembinaan kepada guru-guru agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien. Dalam pelaksanaannya, baik kepala sekolah dan pengawas menggunakan lembar pengamatan yang berisi aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kinerja guru dan kinerja sekolah. Untuk mensupervisi guru digunakan lembar observasi yang berupa alat penilaian kemampuan guru (APKG), sedangkan untuk mensupervisi kinerja sekolah dilakukan dengan mencermati bidang akademik, kesiswaan, personalia, keuangan, sarana dan prasarana, serta hubungan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Buku 1). Jakarta: Depdiknas.
Sahertian, Piet A. 2000. Konsep-Konsep dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Supandi. 1996. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Jakarta: Departemen Agama Universitas Terbuka.
Suprihatin, MD. 1989. Administrasi Pendidikan (Fungsi dan Tanggung Jawab Kepala Sekolah sebagai Administrator dan Supervisor Sekolah. Semarang: IKIP Semarang Press.
Surya, Mohamad. 2002. Peran Organisasi Guru dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Seminar Lokakarya Internasional. Semarang : IKIP PGRI.
Suryasubrata.1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.Wardani, IGK. 1996.
Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). Jakarta: Dirjen Dikti.
Townsend, Diana & Butterworth. 1992. Your Child's Scholl. New York: A Plime Book.

Sumber: Trimo, S.Pd.,MPd. Homepage Pendidikan Network
 
peranan_pendidik_terhadap_pendidikan_di_indonesia.docx
File Size: 71 kb
File Type: docx
Download File

 
profesi_keguruan.pptx
File Size: 348 kb
File Type: pptx
Download File

 
profesi_kependidikan_2.pptx
File Size: 324 kb
File Type: pptx
Download File